Opini Reflektif: Memandang SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta Melampaui Stigma Dangkal
“Sekolah bukan hanya tentang bagaimana ia dinilai, tetapi tentang bagaimana ia terus tumbuh dalam diam, dalam dedikasi, dan dalam kebijaksanaan yang tersembunyi.”
Surakarta, 7 Juli 2025 Dalam dunia pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi semangat kolaborasi dan saling menguatkan, menjadi suatu ironi ketika kritik hadir dalam bentuk refleksi sepihak yang lebih menyerupai agenda subordinatif daripada narasi perkembangan kolektif. Sejumlah guru dari SMP Pangudi Luhur Bintang Laut, dalam dokumen yang disebut “Bahan Refleksi untuk Perkembangan SMA PL St. Yosef,” menyampaikan catatan-catatan yang secara struktur tampak membangun, namun secara naratif menyimpan bias superioritas yang memerlukan klarifikasi intelektual.
Memahami Refleksi: Antara Observasi dan Presumsi
Dalam pendekatan evaluasi berbasis teori Developmental Evaluation (Patton, 2011), setiap refleksi seharusnya bersifat partisipatif, kontekstual, dan menumbuhkan shared vision antara institusi. Namun dalam konteks ini, refleksi yang diberikan cenderung bertolak dari paradigma deficit-oriented alih-alih appreciative inquiry (Cooperrider & Whitney, 2005), sehingga bukan membangun, tetapi justru mereduksi pencapaian dan martabat institusi pendidikan setingkat SMA.
Basket, Branding, dan Bias Pengukuran Kesuksesan
Penguatan bidang olahraga, khususnya basket, memang menjadi aspek strategis dalam membentuk karakter siswa. Namun, indikator keberhasilan pendidikan tidak hanya terletak pada satu cabang ekstrakurikuler. SMA Pangudi Luhur Santo Yosef telah mempraktikkan multiple intelligences framework (Gardner, 1983) yang tidak membatasi perkembangan siswa hanya dalam kerangka fisik atau visual semata, tetapi juga dalam dimensi musikal, interpersonal, eksistensial, dan logika-matematika.
Branding, sebagaimana disebutkan, bukan sekadar urusan visual atau keaktifan media sosial. Dalam konteks institusi pendidikan, educational branding haruslah tumbuh dari substansi nilai, keunggulan kurikulum, dan karakter lulusan. SMA PL St. Yosef telah membangun itu dalam diam, bukan dengan gimik promosi, tetapi dengan transformasi menyeluruh berbasis character education.
Merefleksi Kedisiplinan: Bukan Masalah yang Dilembagakan
Tudingan soal kedisiplinan tidak serta merta mencerminkan kenyataan. Menurut Positive Behavioral Interventions and Supports (PBIS) framework, setiap sekolah harus dipandang dalam behavioral ecology-nya masing-masing. SMA PL St. Yosef memiliki pendekatan kedisiplinan yang lebih humanis, berbasis relasi guru-siswa yang otentik, bukan melalui pendekatan authoritarianism yang telah usang.
Menjawab Masa Lalu dengan Kecemerlangan Masa Kini
Peristiwa masa lalu seperti "demo", "geng", atau isu lain yang dilontarkan tidak layak dijadikan parameter stagnasi. Bahkan menurut teori Transformative Learning (Mezirow, 1991), pengalaman traumatik masa lalu justru dapat menjadi pemicu perubahan struktural dan kultural yang mengakar. SMA PL St. Yosef telah bertransformasi dengan cara elegan, menghidupkan kembali nilai-nilai “Dipanserhati” melalui pendekatan pedagogi reflektif, bukan sekadar simbolisme kosong.
Kolaborasi Antar Jenjang: Bukan Ajang Hierarki
Salah satu narasi yang menyentuh ranah etika adalah saran mengenai seleksi siswa yang dikirim untuk kegiatan promosi di SMP PL Bintang Laut. Pernyataan ini mengesankan bahwa hubungan antar lembaga dalam satu yayasan bukanlah relasi kolaboratif, tetapi hubungan hierarkis yang menilai SMA sebagai “subjek yang harus ditata” alih-alih mitra sejajar yang saling memperkaya.
Hal ini bertentangan dengan semangat professional learning community (DuFour et al., 2006) yang semestinya dihidupi antar jenjang sekolah. Kolaborasi seharusnya berbasis pada mutual respect, bukan pada framing superioritas yang terselubung dalam gaya diplomatik.
Refleksi Balik untuk Refleksi Mereka
SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta tidak anti-kritik. Justru kami menyambut kritik yang berbasis data, disampaikan dengan pendekatan partisipatif, serta memperhatikan konteks. Namun, kami juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga martabat lembaga dari narasi yang membentuk citra negatif secara tidak proporsional.
SMA ini bukan sekolah sempurna. Namun, ia sedang berkembang dengan hati, dengan visi, dan dengan kehormatan.
“Jika ingin memberi cahaya, jangan redupkan pelita orang lain. Jadilah matahari yang menghangatkan, bukan api yang membakar.”