Lestari Keroncongku, Indonesiaku

    Pada kesempatan kali ini saya akan mengajak para hadirin sekalian untuk menyaksikan tayangan berikut untuk menambah wawasan kita mengenai Keroncong Moresko. 




    Dilansir dari artikel Kompasiana.com kata Moresko sendiri yang terdapat di buku “Bunga Angin Portugis di Nusantara” karangan Paramintha Abdurachman, di bawah judul artikel “Keroncong Moresko, Tanjidor, dan Ondel-ondel, sebuah Dongengan Sejarah” terbitan LIPI dan buku Obor.

    Dari judulnya, jelas kita langsung tahu isi artikel pasti berisi gambaran tentang musik rakyat. Betul. Isinya memang menyangkut gambaran keseharian budaya populer Betawi di sekitar tahun 1900, di antaranya tentang booming sebuah lagu keroncong berjudul “Moresko”. Pada 1976 seorang ahli kemudian menggolongkan pula satu jenis keroncong dengan sebutan keroncong moresko.


    Sayang, penjelasan arti kata moresko masih simpang siur dalam artikel tersebut, di mana ia diinterpretasikan berasal dari pemelayuan “Maurits” alias pangeran Maurice dari Nassau. Padahal pelafalan moresko sendiri lebih dekat dengan “Morisco” sekelompok masyarakat yang punya sejarah sendiri dari abad XV hingga XVII.


Siapakah kaum “Morisco” ini?

Mereka adalah kelompok yang muncul sebagai konsekwensi dari inkusisi Spanyol. Pada tahun 1492, melalui dekrit Alhambra, Monarki Katolik Ferdinand II dan Isabella memerintahkan pelarangan agama Yahudi dan agama Islam di Spanyol. Akibatnya, banyak dari orang Yahudi dan Muslim akhirnya masuk Katolik atau dengan terpaksa meninggalkan Spanyol.


Tetapi urusan agama tetap saja sebatas agama. Budaya keseharian adalah urusan lain. Kaum Muslim yang masuk ke Katolik masih tetap saja menggunakan pakaian, bahasa, dan juga nama-nama nenek moyang mereka, persis serupa dengan saat sebelum mereka pindah agama. Tidak mungkin ‘kan orang-orang itu membuang semua pakaian yang merupakan harta milik dan juga kebiasaan mereka sebelumnya?


Aturan yang lebih keras lagi akhirnya dikeluarkan pada tahun-tahun berikutnya. Pada 1508, pakaian bernuansa Islam dilarang. Pada 1567, Felipe II mengeluarkan aturan baru yang melarang penggunaan pakaian berbau Islam, nama Islam, serta larangan berbahasa Arab. Puncaknya, semenjak tahun 1607, raja Felipe III mengusir ribuan orang Moriscos meninggalkan Spanyol. Jumlah mereka yang terusir kira-kira sebanyak jumlah seluruh penduduk Kabupaten Flores Timur (kabupaten asal saya) kini, yaitu 300 ribu-an orang. Kaum moriscos ini adalah muslimin yang telah berpindah ke Katolik menuruti perintah inkusisi.


Bisa dibayangkan para pria-wanita, tua dan muda harus meninggalkan tanah tumpah darah mereka hanya karena paksaan agama. Dan lagi, kenangan pahit ini akhirnya tersimpan pula dalam bentuk kesenian, di antaranya lewat lagu-lagu pelipur lara.


Begitulah kalau sebuah kekuatan politik, termasuk dalam hal ini Negara, ikut terlibat dalam mengurus agama dan peribadatan seseorang. Di Republik kita, masih juga ada kekuatan politik bersikukuh mengurus peribadatan yang sebenarnya adalah urusan privat dengan Tuhan. Politik tidak ada hubungannya dengan masuk surga atau tidak masuk surganya seseorang.


Jangan sampai di esok dua hari, ada lagi lagu-lagu yang terkait paut dengan pemaksaan agama oleh kekuatan politik. Dan meski riwayat pemaksaan agama ini terkubur waktu akibat informasi yang terkait dengannya ikut diredam, ia bisa direkam dalam seni budaya, misalnya lewat lagu-lagu. Dan seseorang yang nanti mengacak-acak dokumen akan menemui bahwa pernah di suatu masa, sebuah institusi atau kekuatan politik di abad XXI memberlakukan pemaksaan agama. Peristiwa yang mengulang pahitnya Spanyol di abad XV.


(Syair lagu Moresco di Betawi ditulis dalam Bahasa Portugis. Paramitha, h. 42)

Popular Posts