Duka di Perairan Maluku: Evaluasi Serius Pelaksanaan KKN di Indonesia
Evaluasi Serius Pelaksanaan KKN di Indonesia
Oleh: Tio Adhitama
Tragedi yang terjadi di perairan Maluku, saat perahu yang ditumpangi mahasiswa KKN Universitas Gadjah Mada terbalik dan merenggut dua nyawa muda—menjadi alarm keras bagi kita semua. Musibah ini bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang pentingnya merenungi kembali arah dan esensi dari program pengabdian masyarakat yang selama ini diagungkan: Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Sebagai program strategis dalam dunia pendidikan tinggi, KKN tidak sekadar bentuk pengabdian temporer. Ia merupakan wahana penting untuk membangun jembatan antara akademisi dan masyarakat. Melalui KKN, diharapkan mahasiswa tidak hanya membawa ilmu, tetapi juga belajar menyerap kearifan lokal, mendengar denyut nadi rakyat, dan menumbuhkan kepedulian sosial. Singkatnya, KKN seharusnya menjadi ruang pembelajaran karakter—bukan sekadar formalitas kewajiban kurikulum.
Namun, realitas hari ini tampaknya bergerak menjauh dari semangat awal tersebut.
Pengabdian yang Tergelincir pada Euforia
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang mengkhawatirkan. Tidak sedikit mahasiswa yang menjadikan KKN sebagai ajang "liburan akademik." Lokasi dipilih bukan karena urgensi pembangunan masyarakat, tetapi karena potensi wisata yang "Instagramable." Banyak pula yang menyebut KKN sebagai "Kuliah Kerja Piknik"—istilah yang lahir bukan tanpa sebab.
Alih-alih berbaur dan belajar dari warga, sejumlah mahasiswa justru terjebak dalam euforia wisata, kehilangan arah pengabdian, dan melupakan tanggung jawab sosial. Sopan santun pun sering kali menjadi barang mahal. Etika terhadap warga lokal diabaikan, waktu tidak dikelola dengan bijak, dan kedewasaan dalam bersikap belum sepenuhnya tercermin, meski mereka menyandang gelar sebagai “mahasiswa”—gelar yang seharusnya mencerminkan kualitas nalar, moral, dan karakter.
Pembekalan dan matrikulasi sebelum penerjunan memang telah menjadi bagian dari prosedur. Namun yang belum sepenuhnya disentuh adalah aspek keberlanjutan dan ketahanan karakter di lapangan. Persoalan yang timbul bukan hanya karena kurangnya informasi teknis, tetapi juga karena lemahnya pemahaman nilai dan orientasi diri.
Kualitas Individu Menentukan Keselamatan Kolektif
Musibah seperti yang terjadi di Maluku sesungguhnya merupakan akumulasi dari banyak hal. Dalam konteks manajemen risiko, keputusan kecil dari satu individu dapat berdampak besar terhadap keselamatan kelompok. Maka kita harus bertanya dengan lebih serius:
Apakah mahasiswa kita benar-benar siap secara mental dan karakter untuk hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda secara budaya, infrastruktur, dan dinamika sosial?
Apakah latar belakang keluarga dan pendidikan mereka cukup membentuk pribadi yang mampu bertahan dalam situasi tak ideal?
Apakah mereka memang layak menyandang status sebagai calon intelektual bangsa?
Pertanyaan tersebut untuk para peserta KKN dan bukan bermaksud menyalahkan, tetapi sebagai bangsa, kita perlu menilik lebih dalam bahwa pengabdian tanpa bekal karakter adalah bahaya laten. Kecelakaan bukan semata karena alam, tetapi juga karena manusia yang lalai memahami batas dan konsekuensi.
Evaluasi Menyeluruh, Bukan Simpati Sesaat
Sudah waktunya dunia akademik—terutama perguruan tinggi—melakukan evaluasi menyeluruh atas sistem dan pelaksanaan KKN. Pembekalan tak cukup hanya mengandalkan pengetahuan teknis dan laporan administrasi. Yang harus diperkuat adalah pendidikan karakter: kedewasaan emosional, kepekaan sosial, kemampuan beradaptasi, dan integritas moral.
Pendampingan di lapangan juga tidak boleh menjadi formalitas. Harus ada mekanisme pengawasan yang memastikan bahwa mahasiswa tidak melenceng dari tujuan mulia KKN. Karena dalam pengabdian yang sejati, tidak ada ruang untuk pencitraan, pelesiran, atau pengabaian tanggung jawab.
Belajar dari Duka, Bergerak untuk Perubahan
Tragedi ini bukan sekadar berita. Ini adalah peringatan.
Bahwa di balik seremonial pelepasan KKN, ada tanggung jawab besar yang menanti. Bahwa di balik wajah ceria para mahasiswa, ada risiko dan beban sosial yang harus dipikul dengan penuh kesadaran. Dan bahwa kepribadian yang matang—bukan hanya kecerdasan akademik—adalah pondasi utama agar program seperti KKN benar-benar bisa menjadi alat kemajuan bangsa.
Kita kehilangan dua jiwa muda yang berniat baik Septian Eka Rahmadi dan Bagus Adi Prayoga. Mereka adalah pahlawan dalam jalur pengabdian. Maka sebagai bentuk penghormatan, kita tidak boleh hanya menangisi kepergian mereka. Kita harus memperbaiki sistem, mempertegas orientasi, dan membenahi karakter generasi.
Kepribadian yang luhur akan selalu menuntun pada keselamatan.
Dan karakter yang tangguh adalah benteng dari tragedi.
Tuhan senantiasa memberkati para jiwa yang telah pergi dalam pengabdian.
Dan semoga bangsa ini tumbuh lebih bijak dalam mempersiapkan generasi penerusnya. 1 Juli 2025
#Refleksi#KKN#UGM#Maluku#KeiKecil